“Adikmu suka ngileran, diajak ngomong gak nyambung pula, padahal sudah smp, malu-maluin aja. Gak mau kita temenan sama kamu nanti takut ketularan. Sukanya mukul kalo enggak dituruti. Jauhi ajalah mereka. Gak asik mereka diajak main, daripada ikutan bodoh kayak mereka”.
Pernahkah kita mendengar celoteh atau mungkin menerima komentar negatif tersebut karena kita memiliki saudara kandung yang berbeda (berbeda dalam artian berkebutuhan khusus, seperti autism, tuna rungu, dsb) dibandingkan teman-teman yang lain? Atau sebaliknya, kita malah menjadi salah satu oknum yang melontarkan kata-kata negatif kepada mereka yang memiliki saudara kandung dengan kebutuhan khusus tertentu ?
Keterbatasan diri Saudara Kandung. Bagi sebagian anak, memiliki saudara kandung merupakan hadiah terindah yang mereka peroleh dalam hidup. Ia tidak perlu merasa kesepian seorang diri di rumah ketika orangtua sibuk bekerja, ada seseorang yang dapat mendengarkan keluh kesah yang dialami, menghabiskan waktu bersama-sama untuk melakukan kegiatan apapun, walaupun tidak jarang untuk bertengkar saat bersama, namun akan merasa rindu saat berjauhan.
Namun, disisi lain bagi sebagian anak, memiliki saudara kandung adalah sebuah bencana / hadiah terburuk yang ia pernah peroleh. Ia merasakan takut akan kehilangan perhatian dari kedua orangtuanya karena kehadiran saudaranya yang lain, ataupun takut merasa tersaingi / dibandingkan secara kemampuan. Hal ini lebih diperburuk ketika ternyata ia memiliki saudara kandung yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental. Baik keterbatasan fisik maupun mental pada seorang anak akan memberikan pengaruh pada pada salah satu atau beberapa aspek kehidupannya, seperti keterlambatan perkembangan (fisik, mental, sosial), penurunan kemampuan kognitifnya ataupun munculnya masalah perilaku.
Ketika seorang anak memiliki suatu keterbatasan tertentu, hal ini membuat orang-orang disekitarnya, khususnya keluarga inti mencurahkan energi, pikiran dan perasaan yang lebih besar bagi anak tersebut. Hal ini dikarenakan dibutuhkan perawatan dan pemenuhan kebutuhan yang besar dalam mengasuhnya, seperti adanya pegeluaran lebih untuk memeriksakan ke dokter tumbuh kembang secara teratur guna memantau perkembangan anak agar sesuai dengan usia perkembangannya, membelikan vitamin-vitamin yang dapat meningkatkan kemampuan anak sehingga dapat lebih optimal, memberikan dan mencurahkan perhatian dan fokus yang lebih besar kepada anak tersebut dibandingkan saudaranya yang normal.
Dampak yang dirasakan oleh Saudara Kandung Normal. Memiliki saudara kandung dengan keterbatasan tertentu, tentulah memberikan dampak yang cukup signifikan bagi saudara kandungnya, khususnya ketika tidak mampu ditangani dengan cukup baik, diantaranya yaitu :
1. Memiliki kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial dan emosional.
2. Adanya perasaan malu dan takut untuk dijauhi oleh teman-teman sebayanya
3. Adanya kekhawatiran jika dirinya akan bertindak seperti saudara kandungnya yang memiliki kebutuhan khusus.
4. Munculnya permasalahan ekternalisasi (seperti kesulitan untuk menjalin relasi dengan anak-anak lain, sulit untuk berkonsentrasi, memiliki temperamen yang kuat dan sering berdebat) dan internalisasi (overcontrol emosi, terlalu bergantung pada orang lain, merasa tidak berharga maupun merasa inferior) dalam dirinya.
5. Kurang mampu menjalin hubungan yang positif dengan saudara kandung yang memiliki keterbatasan akibat dari hambatan yang dimiliki saudaranya.
6. Adanya perasaan marah dan meyakini bahwa ia adalah orang yang tidak beruntung dan akan memiliki beban yang harus ia tanggung hingga hari tua.
Ketika hal ini tidak dapat ditangani dengan efektif maka pemikiran dan perasaan negatif yang intens ini akan memicu timbulkan stres hingga depresi pada saudara kandung yang normal.
Gejala Stres. Munculnya gejala stres adalah sebagai respon terhadap stres yang dirasakan, khususnya dalam hal ini terkait dengan memiliki saudara berkebutuhan khusus. Hawari (2001, dalam National Safety Council, 2003) menyebutkan tahapan yang dialami saat seseorang mengalami stres, meliputi :
Tahap Pertama. Disertai perasaan nafsu beraktivtas yang berlebihan, dimana ia kurang mampu untuk memperhitungkan tenaga yang dimiliki dalam menyelesaikan pekerjaan.
Tahap Kedua. Disertai dengan keluhan seperti perut tidak nyaman, mudah lelah, kurang dapat rileks dan bangun tidur dengan rasa kelelahan.
Tahap Ketiga. Memiliki tingkat stres yang lebih tinggi, dengan keluhan seperti otot menegang, emosional dan insomnia.
Tahap Keempat. Muncul keluhan tidak mampu untuk bekerja sepanjang hari, merasa cepat lelah dan jenuh sehingga terganggunya kegiatan sehari-hari, gangguan pola tidur, menurunnya konsentrasi dan daya ingat serta memunculkan ketakutan dan kecemasan.
Tahap Kelima. Ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas sederhana, gangguan pencernaan berat, rasa takut, cemas dan panik meningkat
Tahap Keenam. Merupakan tahapan paling berat dimana terdapat gejala fisik berat yang menyertai, seperti jantung berdebar keras, berkeringat, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan pingsan.
Cara Mengatasi Stres. Stres yang dirasakan oleh saudara kandung normal harus dapat teratasi dengan baik guna membentuk diri menjadi lebih produktif dan bahagia. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya, diantaranya yaitu :
1. Mencoba membekali diri dengan pengetahuan dasar mengenai diagnosa yang dimiliki oleh saudara kandung berkebutuhan khsusus, terkait dengan gejala-gejala, perilaku yang dimunculkan, kemampuan kognitif, dsb. Hal ini bisa membantu untuk memahami mengapa perilaku / pengambilan keputusan / cara berpikirnya mungkin tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
2. Menceritakan perasaan yang dialami kepada orang lain yang dipercaya untuk mendapatkan penguatan secara emosional.
3. Mencoba untuk menemukan makna positif dari apa yang dialami saat ini, bisa dilakukan melalui hal-hal spiritual (seperti berdoa, melakukan retreat, berzikir, dsb) ataupun menemukan kembali apa yang penting dan bermakna dalam hidup.
4. Ketika muncul perasaan marah atau jengkel, cobalah untuk melampiaskannya kearah yang lebih positif, seperti melakukan olahraga, pergi menjauh dari situasi yang memicu agresi fisik maupun verbal, melakukan meditasi, berdoa, dsb.
5. Mencari bantuan profesional, seperti psikolog ataupun psikiatri ketika merasa tidak mampu untuk mengatasi stres yang dialami secara intens.