Kata “memaafkan” terkadang mudah sekali diucapkan dalam berbagai situasi, pada saat memasuki bulan Ramadhan, hari Raya Idul Fitri, hari 1 Muharram dan sebagainya. namun bagaimana dengan orang yang memberi maaf. Tak jarang pula sering muncul kalimat “enak saja saya maafkan, sampai tujuh keturunan juga tidak akan aku maafkan”, “bagaimana bisa ku maafkan kalau ketemu saja dadaku masih terasa sakit” dan sebagainya.
Padahal manusia sebagai makhluk sosial, tidak pernah lepas berinteraksi dengan orang lain yang selalu membuat pengalaman baru, dapat berupa pengalaman menyenangkan ataupun pengalaman yang tidak menyenangkan yang akhirnya dapat menimbulkan luka tersendiri. Bahkan terkadang ada beberapa orang yang menunjukkan rasa marahnya kepada Tuhan karena menganggap bahwa sejak kecil selalu mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan.
Pengalaman yang tidak menyenangkan dianalogikan seperti “clurit” oleh Kang Asep Haerul Gani pada saat memberikan pelatihan terkait Forgiveness Therapy. Peristiwa tersebut bisa menjelma dalam berbagai bentuk yang dipicu oleh aneka momen dengan ragam emosi saat itu: marah, dendam, sedih, kecewa, merasa tak berharga, tak dianggap, dan sebagainya. Ketika seseorang belum memaafkan, orang tesebut dianalogikan terluka oleh clurit dan clurit itu masih menempel dibadannya sehingga ketika ia menceritakan peristiwa yang membuatnya sakit hati, orang tersebut hanya menambah luka dan menunjukkannya pada orang lain. Maka dari itu, clurit (luka yang dari peristiwa yang tidak menyenangkan) itu harus pelan-pelan dikenali kemudian di lepaskan (memaafkan).
Hanya saja terkadang ada beberapa orang bertahan untuk tidak memaafkan karena dengan berbagai asumsi bahwa akan memperoleh simpati dan perhatian dari orang sekitarnya, menunjukkan bahwa secara moral Anda benar dan pelaku salah, memaafkan sama saja menjadi pecundang, memaafkan adalah bentuk dari ketidak mampuan membela hak, memaafkan adalah memberi keuntungan kepada si pelaku dan si pelaku akan berbuat lagi, dan sebagainya. Padahal hakikatnya, orang yang belum memaafkan hanya akan merugikan diri sendiri.
Apabila seseorang memahami bahwa ada banyak manfaat yang luar biasa bagi dirinya sendiri dibandingkan bagi orang lain, kemungkinan besar mereka akan berusaha memaafkan orang lain. Namun kembali lagi tetap menjadi pilihan orang tersebut apakah memaafkan atau tidak. Adapun manfaat dari memaafkan antara lain meningkatnya kesehatan jiwa raga, tekanan darah menjadi lebih normal, penurunan stress, kemarahan mereda, menurunkan gejala depresi, lebih bersahabat, rasa nyeri akut menurun dan sebagaiya.
Lewis B. Smedes (dalam Latifah , 2021) membagi empat tahap pemberian maaf, yaitu :
Saat ini banyak sekali tulisan mengenai cara untuk memaafkan, seperti selalu berfikir positif, melalui Hipnotherapy dan sebagainya. Berikut adalah beberapa cara memaafkan yang dapat dilakukan secara mandiri (Asep Haerul Gani, 2017):
Memulai dengan menutup mata, fokus pada nafas yang masuk dan keluar. Ketika sudah mulai lebih tenang, fokuskan pada satu bagian yang sering mengalami keluhan. Misalkan ubun-ubun dikarenakan sering sakit kepala, maka dapat mengajak komunikasi ubun-ubun dengan mulai menyapa, mengucapkan terima kasih kemudian mohon maaf kepada ubun-ubun. Misalkan dengan kata “Maafkan aku ya ubun-ubun, karena perilakuku kamu menjadi sering sakit kepada”. Selanjutnya menyampaikan kebaikan dan mohonlah dukungan kepada ubun-ubun. Misalkan “Wahai Tuhan, berikanlah kepada ubun-ubun kebaikan, kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, cinta dan keberlimpahan”, “Wahai ubun-ubun, aku mohon dukungan dari engkau, aku memiliki keinginan untuk mendapatkan … (menyebutkan keinginan)”
Pada saat mengalami suatu peristiwa, amatilah pikiran apa yang muncul. Apabila anda mempunyai pemikiran yang dapat memicu perasaan negatif pada diri anda, maka anda bisa langsung mengubah pemikiran tersebut sehingga memicu perasaan netral.
Anda merasa tidak nyaman dan berupaya menyampaikan dengan cara-cara yang dapat diterima pelaku dan tetap menghargai pelaku, Dengan cara asertif ini, perasaan-perasaan anda terungkapkan dan pada saat yang sama pelaku menjadi lebih mmahami bahwa tindakannya mengganggu orang lain dan ini membawa kepada pemahaman untuk melakukan perubahan.
Bilamana anda sudah melakukan cara-cara di atas, dan merasa belum menunjukkan kemajuan maka ingatlah bahwa semua proses pemaafan juga membutuhkan waktu. Seperti halnya yang disampaikan Smedes bahwa semakin parah rasa sakit hati semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk memaafkan. Kadang-kadang seseorang melakukannya dengan perlahan-lahan sehingga melewati garis batas tanpa menyadari bahwa dia sudah melewatinya. Proses juga dapat terjadi ketika pihak yang disakiti mencoba mengerti kenapa hal itu terjadi bersama-sama dengan upaya meredakan kemarahan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa proses memaafkan terkadang keberhasilannya tanpa disadari oleh dirinya sendiri namun langsung menunjukkan ada perubahan pada dirinya. Dan apabila Ananda masih merasa kesulitan untuk melakukan proses pemaafaan ini, anda bisa bekonsultasi dengan profesional terkait agar anda lebih sehat dan bahagia dengan memaafkan orang lain.